Senin, 30 April 2012

Gibran Huzaifah, Trial and Error Ciptakan Produk Olahan Ikan Lele Modern

Tak harus menjadi ahli kuliner bila ingin berbisnis kuliner. Trial and error tiada henti, membuat Gibran Huzaifah berhasil menaikkan nilai tambah ikan lele menjadi berbagai produk olahan ikan lele modern. Mahasiswa semester 8 jurusan Biologi Institut Teknologi Bandung(ITB) itu kini menoreh omset Rp50 juta setiap bulannya.




Sebagai mahasiswa, waktu untuk belajar tentang apa pun sangatlah besar. Semangat mereka yang tinggi sebetulnya tak hanya cukup untuk aktivitas kuliah saja. Sebab, saat daya kreasinya dipertajam, karya-karya luar biasa tak jarang mengalir dari tangan anak-anak muda itu, seperti inovasi yang dilakukan Gibran Huzaifah, mahasiswa jurusan Biologi Semester 8, Institut Teknologi Bandung (ITB).

Mei setahun silam, Gibran – begitu ia disapa, sibuk mencari ide mengatasi rasa jenuh yang tak kunjung pergi dari rutinitasnya sebagai mahasiswa. Sesuatu yang menantang sudah ia lewatkan sebagai mahasiswa. Akhirnya tantangan yang sesungguhnya ia dapatkan, yakni menjadi mahasiswa sambil menjadi pengusaha. Ia kemudian mencari berbagai informasi tentang entrepreneur hingga sharing dengan pengusaha lainnya agar impiannya tercapai.

“Dengan menjadi pengusaha saya ingin berbuat lebih,” imbuh kelahiran Jakarta ini. Artinya kepalanya yang selama ini banyak bertaburkan ide yang tak tersalurkan, bisa diwujudkannya melalui produk-produk baru. Ternyata Gibran tak sekadar bermimpi. Tak menunggu waktu lama, ia langsung action. Budidaya ikan lele adalah usaha yang semula dilakoninya.

“Tapi setelah dipikir agak sulit mencari pasar. Dari situ saya berpikir, daripada ikan lelenya dijual mentah, lebih baik diolah, jadi value produk lebih tinggi,” ujarnya. Peluang yang belum terbaca pengusaha lainnya saat itu, sudah ditangkap putra pasangan Amri Fauza dan Suciati ini. Menurutnya, di Kota Bandung nyaris belum ada pengusaha lain yang kepikiran memproduksi olahan ikan lele modern.

Kendati tak sedikit pun punya kemampuan dalam pengolahan ikan tersebut – mengingat belum ada pengusaha lain memproduksinya, Gibran tak putus asa. Dia tahu dari bahan baku lain, di pasaran ada produk olahan yang sudah dikenal luas. Sebut saja spaghetti, steak, nugget dan sebagainya. Lebih dari itu, ikan lele yang di-fillet atau di-nugget juga masih terbilang langka.

Ia tak mau sia-siakan peluang itu. Gibran optimis, bila ikan lele dibuat nugget atau di-fillet pasti banyak orang yang menyukainya. Begitu juga bila diolah menjadi spaghetti lele, steak lele dan nugget lele. “Saya pun trial and error menghasilkan produk olahan tersebut,” ujarnya. Lingkungan kampus merupakan tempat ia melakukan uji coba selama tiga bulan. Alhasil, formula yang pas pun ditemukannya.

Tak berhenti sampai di situ. Saat ia berhasil menemukan cara menghasilkan produk berkualitas, selanjutnya adalah bagaimana agar produknya bisa menghasilkan untung. Ia membutuhkan Rp8 juta agar bisa berproduksi. “Selain dari uang sendiri, saya juga cari investor,” kata dia. Sebuah gerai restoran ia dirikan yang kemudian berlabel Dorri.

“Untuk produk yang di-fillet atau nugget, di restoran ini saya kombinasikan dengan resep tradisional Nusantara,” katanya. Untuk itu, ia memberikan pilihan bumbu dari Aceh hingga Papua untuk menyantap olahan lelenya. Menunya pun disesuaikan dengan asal bumbu tersebut, semisal Bumbu Aceh, Saos Padang, Pecak Betawi, Peletuk Kuning Kalimantan, Rica-rica Sulawesi dan Kuah Kuning Papua.

Olahan lele yang lebih ke varian makanan pun bisa disantap, seperti steak lele, spaghetti lele, dan rolade. Dan karena masih langka, Dorri akhirnya menjadi salah satu tujuan kuliner di Bandung. Dari setiap outlet yang kini sudah menyebar sampai Bogor, ia bisa mengantongi omset Rp600 ribu setiap harinya.

“Paling kurang Rp50 jutaan omset saya dapatkan dalam satu bulan,” tukasnya. Dari usahanya itu, kini ia bisa mempekerjakan 11 orang karyawan. Dahulu uang hanya bisa didapatkan dari jatah orang tua, kini apa pun bisa ia nikmati dari hasil kerja kerasnya sendiri. Orang tuanya yang karyawan swasta kini terbantu bebannya dalam menunjang hidupnya sebagai mahasiswa.

“Alhamdulillah biaya sehari-hari, biaya kuliah, dan sekolah adik bisa saya penuhi,” tukasnya bangga. Kedua orang tua yang sebelumnya menyarankannya agar memilih jalur aman menjadi karyawan saja kini terbuka matanya. Begitu pula dengan para dosen yang sempat menyarankan untuk fokus kuliah, ketimbang menjadi pengusaha.

“Sebagai mahasiswa, seharusnya kita tidak hanya fokus kuliah saja, karena potensi kita besar. Sudah seharusnya kita menebar manfaat,” ujar peraih penghargaan Sosro Youth Business Competition kategori kuliner ini. Lagi pula, kata dia, di masa-masa seusianya, semangat masih sangat membara, waktu untuk belajar sangat banyak sehingga menjadi pengusaha merupakan pilihan tepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar