Minggu, 15 Januari 2012

Koma Untoro, “Iri” Teman Lulusan SD, Rela Tinggalkan Gaji Ratusan Juta

Demi bekerja di Bursa Efek Jakarta – sekarang Bursa Efek Indonesia, Koma Untoro harus kuliah pasca sarjana Universitas Indonesia. Ia pun berhasil mendapat tiga ijazah terkait Bursa Efek. Tiga divisi manajer didudukinya dengan penghasilan besar. Namun semuanya berakhir dengan keputusan gilanya menjadi pengusaha. Benarkah ia gila? 





Siapa yang tak mengenal Bursa Efek Jakarta (BEJ)? Setiap hembusan napas, ratusan juta transaksi terjadi di gedung pencakar langit, jalan Sudirman Jakarta itu. Sedikitnya Rp 5 triliun total transaksi terjadi sepanjang hari di sana. Yang bekerja di dalamnya bukan orang sembarangan. Selain pintar, harus sekolah setinggi mungkin. Apalagi untuk posisi manajer, seperti yang pernah diemban Koma Untoro.

Untuk jabatan tersebut, Koma – sapaan akrabnya, rela meninggalkan pegawai negeri sipil di Tegal, daerahnya berasal. Ia kemudian melanjutkan S2 di Universitas Indonesia. Hingga, di tahun 1992 ia diterima di BEJ – kini namanya Bursa Efek Indonesia. Beberapa divisi manajer BEJ gonta-ganti didudukinya. Cita-citanya tercapai. Tunjangan, bonus, asuransi, general check up dan berbagai fasilitas wah lainnya pantas dinikmatinya. Penghasilan anak petani ini bertengger di atas ratusan juta rupiah.

Jabatan itu, membuatnya sering bolak-balik ke luar negeri. Tak terhitung berapa kali ia berkeliling Indonesia untuk edukasi tentang Bursa Efek. Bahkan, pernah berlama-lama di sebuah hotel mewah membuat buku panduan keuangan untuk BEJ. Orang tuanya bangga, keluarganya bahagia. Dirinya kini bukan hanya kaya, tetapi juga pintar dan disegani di BEJ. Hanya karena jabatan direktur di perusahaan itu adalah jabatan politis, ia sebenarnya terhitung yang layak mendudukinya.

“Namun akhirnya saya dianggap gila,” cetus Koma. Apa pasal? Ibarat membakar tiga ijazahnya, yang bahkan telah diraihnya melewati sengitnya persaingan, ia mengundurkan diri dari perusahaan itu. Alasan utamanya terasa lucu bagi siapa saja di sekelilingnya saat itu, yakni ingin menjadi pengusaha. Keputusan itu membuat teman-teman maupun keluarganya, membujuk dirinya membatalkan hasrat tak masuk akalnya.

“Mereka bilang ini mungkin keputusan emosional,” ujar pria kelahiran Tegal tahun 1959. Lagi pula, tambahnya, ia sudah memenuhi harapan orang tuanya, sekolah setinggi mungkin dan bekerja di perusahaan besar. Namun begitu, setiap kali mudik ke kampung halamannya, hati Koma kerap terganjal seorang teman SD-nya. Teman itu, memiliki aset miliaran rupiah, hanya usaha jualan ikan.

“Teman SD saya itu memakai sarung setiap hari, jalan dengan cucunya. Waktu luangnya banyak. Ia hanya mengontrol usahanya. Asetnya miliaran rupiah, jauh di atas penghasilan saya sebagai manajer,” katanya tentang teman yang memiliki banyak investasi properti di kota Tegal itu. Untuk bisa seperti temannya, tak mungkin hanya bekerja dengan posisi yang dianggap tinggi di Bursa Efek. Itulah titik balik bagi Koma, sehingga kian membulatkan tekadnya berpindah kuadran menjadi pengusaha.

Lebih gila lagi, setelah resign, Koma belum memiliki usaha. Ia masih mencari-cari peluang yang cocok untuk dijalani. Saat-saat yang mendebarkan pun tiba. Biasanya rutin menerima penghasilan besar saban bulan, kini uangnya terus menipis tanpa pemasukan. Ekonominya turun drastis, sementara dapurnya harus tetap ngebul.
Ia ditekan oleh kondisi itu agar segera menemukan peluang usaha. Jurus ‘The power of kepepet’ muncul secara alamiah. Mau tak mau, ia harus kerjakan semuanya sendiri, tidak lagi dibantu staf seperti di Bursa Efek. Biasanya bekerja di ruangan ber-ac, restoran mewah hingga hotel berbintang, kini hanya di belakang komputer salah satu ruangan kerja di rumahnya. Biaya tetek bengek operasional yang biasanya ditanggung perusahaan, kini terus membolongi kantongnya.

“Bahkan saya sampai menggadaikan rumah saya,” ujarnya. Hingga berjalan beberapa bulan dengan keadaan itu, ia pun menemukan ide untuk mendekati seorang pengusaha sekolah musik ternama: Purwa Caraka. Melalui temannya, ia dipertemukan dengan musisi kondang itu. Lagi-lagi, Koma memang selalu gila. Walau tak mengerti musik sedikit pun, dirinya berani menawarkan sebuah konsep untuk ekspansi sekolah musik tersebut.

Menjadi pengusaha, kata dia, harus bisa bertahan dan sabar. Dirinya dengan penuh kesabaran menunggu keputusan pemilik sekolah musik itu untuk bermitra dengannya. Alhasil, road to be a miliarder terbuka baginya. “Akhirnya saya ditunjuk menjadi partner oleh Pak Purwa Caraka (panggilan pemilik sekolah musik Purwa Caraka red.) untuk pengembangan sekolah musiknya,” ceritanya. Di tangannya, sekolah musik yang tadinya sulit berekspansi itu bertumbuh pesat menjadi 80 gerai.

“Saya yang mengurusi manajemen hingga pengembangan franchise sementara Pak Purwa mengurusi akademik dan kurikulum dan sebagainya,” tandasnya. Koma tak salah dengan keputusannya menjadi pengusaha. Kini, bukan hanya tiga gerai sekolah musik itu ia miliki, tetapi dari kerjasama dengan owner sekolah tersebut dirinya telah memiliki aset bermiliaran rupiah. Secara aset, teman SD yang menjadi sumber inspirasi tadi sudah jauh disalipnya.

Jiwa pengusahanya kian tajam. Kini ia memiliki mainan baru, yakni usaha sate berlabel Sate Virgin, di bilangan Jalan Hasibuan, Bekasi Barat. “Saya ingin mengangkat makanan daerah melalui sate Virgin,” katanya. Sate tersebut, merupakan sate Tegal. Tetapi dimodifikasi dari sisi rasa melalui daging kambing muda, serta racikan bumbu yang membuat rasa dagingnya dominan. Itulah yang memberikan keunikan baginya sehingga menyedot begitu banyak pelanggan.

Koma akhirnya menjadi pengusaha tulen, bukan lagi seorang manajer. Waktunya terbuka luas, tak lagi berkejaran dengan waktu agar sidik jarinya terekam di mesin absen kantor. Pendapatannya kian lama, kian besar, tak seperti nominal gaji yang naiknya hanya puluhan persen setiap tahun. Bila dahulu jumlahnya jutaan, kini miliaran rupiah. “Orang-orang yang bilang saya crazy, akhirnya mengagumi saya. Bahkan, mereka menyesal, mengapa gak dari dulu menjadi pengusaha,” pungkas pria yang memutuskan jadi pengusaha di usianya yang ke 40 tahun itu. 


Penulis : Alan Jehunat
Fotographer : Edi Firtson