Senin, 30 April 2012

Yoad Nazriga,Sukses Belajar Ilmu Kimia, Sukses Meraup Omset Ratusan Juta

Berhasil menjual dua buah jaket motor perusahaan lain, Yoad Nazriga berani mendirikan usaha konveksi jaket motor milik sendiri. Mahasiswa pasca sarjana (S2) jurusan Kimia, Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, kini mereguk omset hingga ratusan juta rupiah setiap bulan dari usaha berlabel ADN Adrenalin itu.

Tak selumrah kuliah sambil bekerja, kuliah sambil berwirausaha masih terdengar aneh di telinga. Sulit dibayangkan dua tanggung jawab besar itu dipikul seorang mahasiswa. Namun, fakta sebaliknya juga berbicara. Pengusaha mahasiswa yang telah menjadi jutawan kian merebak. Di antaranya masuk dalam daftar orang terkaya dunia, semisal Bill Gates (Microsoft), Steve Jobs (Apple) dan Mark Zuckerberg (Facebook).

Inovasi yang dilakukan ketiga miliarder industri IT itu, melejitkan usahanya hingga di belahan dunia mana pun. Awalnya, mereka jeli menangkap peluang, kemudian fokus mengembangkannya – sampai-sampai drop out dari kuliahnya. Lantas, peluang itu jugalah, yang membuat Yoad Nazriga, tergoda menjadi pengusaha sambil kuliah strata satu (S1) hingga kini pasca sarjana (S2) di Institut Teknologi Bandung (ITB).

Ia menjalankan beberapa usaha dengan mereknya masing-masing di kota Bandung, antara lain Bakso Sehat Gayuss, Tanaman Obat Kang Anda dan Mukena Katun Paris. Menariknya, usaha-usaha itu bisa dibilang gak nyambung dengan jurusan Kimia yang tengah ia pelajari di kampusnya “Sebab hidup itu luas, janganlah keluasan itu dibatasi dengan pengetahuan yang diperoleh di kampus saja,” ujar mahasiswa jurusan Kimia sejak S1 hingga kini S2 ITB ini.

“Namun semua usaha itu sudah saya suntik mati,” sambungnya. Apa pasal? Berdagang jaket motor yang merupakan mainannya yang terakhir, cukup menggelorakan adrenalin. Betapa tidak, dua buah jaket motor yang pertama kali dipajangnya di dunia maya, langsung diserbu pembeli. Saat itu juga, ia bukan hanya senang karena jaketnya laku, tetapi layaknya ilmuwan Archimedes berpekik eureka! Ia senang telah menemukan peluang menguntungkan tersebut.

Tekadnya kian bulat, awal Januari 2011 bersama rekannya, Ihsanudin, ia mendirikan usaha konveksi jaket motor berlabel ADN Adrenalin di Kota Kembang itu. Ia mengaku, konsep jaketnya memang mirip dengan jaket motor yang telah ada. Tetapi tak seratus persen ia tiru. Ia membuat jaket yang dibutuhkan segmen laki-laki usia 17 hingga 40 tahun. “Jaket motornya macho, nyaman bila dipakai serta safety,” urainya.

Sebagai jaket yang safety, kata dia, jaket motornya bisa melindungi penggunanya selama berkendara. “Terutama bila terjadi kecelakaan yang tidak diinginkan,”. Untuk itu, jaket motor tersebut dilapisi beberapa bahan yang diklaim berkualitas, semisal busa empuk yang dilapisi bahan anti-slip dan anti-gores, sehingga jaket bandel alias tak bisa robek.

Sementara, dari sisi kenyamanan jaket tersebut berbahan adem atau tidak panas bila dipakai. Selebihnya, demi kesehatan, bahan jaket itu juga anti angin dan air. Tak berhenti sampai di situ, jaket itu didesainnya agar tampak macho bagi lelaki yang menggunakannya. “Resleting YKK, jahitannya saya jamin kuat rapi,” tambahnya tentang kelebihan jaket tersebut.

Awalnya ia menghadapai tantangan: sulit mencari tenaga kerja. Setelah mendapatkannya pun masih harus trial and error. Apalagi, dirinya sama sekali tak bisa menjahit. Namun modalnya, ia tahu seluk-beluk tentang jaket motor dari pengalaman berdagang sebelumnya. Alhasil, awal melempar produknya ke pasar, langsung diborong sebanyak 30 buah oleh agennya di Malaysia.

Kian menemukan bentuknya, jaket motor Yoad banyak dipesan oleh berbagai komunitas motor, perusahaan hingga yang membeli satuan. Untuk pesanan dalam jumlah banyak, ia mematok harga mulai dari Rp135 ribu hingga Rp 250 ribu. Sementara, untuk satuan dibanderol dengan harga mulai dari Rp185 ribu sampai Rp285 ribu.

“Tergantung tingkat safety, kerumitan model dan bahan yang digunakan serta banyak dan besarnya bordir,” alasan Yoad tentang perbedaan harga tersebut. Tak heran, sebulan omsetnya mencapai Rp80 juta hingga Rp100 juta. Setelah dikurangi biaya, kurang lebih Rp20 juta untung bersih dikantonginya.

Ia tak mau jor-joran mereguk manis laba jaket motornya. “Saya hanya gunakan sebagian aja yang cukup buat keperluan penting, seperti biaya kuliah dan keluarga, sisanya untuk kemajuan perusahaan,” cerita suami Novi Kurniasari. Aset usaha ditambahnya, seperti mesin, stok bahan baku dan aset perusahaan lainnya.

Yoad membuktikan, kuliah sambil berwirausaha adalah hal ringan yang dianggap berat. Buktinya, kuliah S1 Kimia di ITB ia selesaikan dengan gemilang. Prestasi kembali ia toreh dalam hal wirausaha. Baru-baru ini, ia berhasil menjadi finalis Youth Business Competition Joy Green Tea 2011. ADN Adrenalin yang berawal satu karyawan kini menggurita menjadi 14 orang karyawan dengan 10 buah mesin.

Lantas apakah setelah menimba ilmu Kimia sampai S2di kampus ternama itu, Yoad bakal bekerja di perusahaan lain bila ada tawaran menarik? “Sayang dong usaha yang telah kita bangun susah payah kemudian dilepas,” ujarnya tak sedikit pun berminat menjadi karyawan. Menjadi pengusaha, menurutnya bisa mempekerjakan orang, keuntungan jelas serta bebas berkreasi. Hanya saja, karena merupakan hobi, ia paling berminat mengajar Fisika, Matematika, Kimia hingga bahasa Arab.

Apalagi, prospek usaha yang berhubungan dengan sepeda motor kian bagus. Hal itu didukung juga oleh gaya hidup masyarakat Indonesia yang konsumtif. Jumlahnya juga sangat besar sehingga bisa dimanfaatkan untuk mereguk keuntungan berlipat. “Hampir di setiap rumah ada motor bahkan hingga pelosok pedesaan sekalipun,” katanya. Ke depan, ia berencana mengembangkan sayap untuk produk celana, rompi, sepatu hingga tekstil.


Informasi lebih lanjut
ADN Adrenalin
Perumahan Sarijadi, Blok 14, No. 114, RT 02, RW 05, Kel. Sarijadi, Kec. Sukasari, Bandung.
www. jaketmotor.org
www.jaketadrenalin.com

Penulis : Alan Jehunat
www.pengusahaindonesia.co.id
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10150652261514835&set=a.10150652260789835.414160.246167004834&type=1&theater

F-16 Motor, Bengkel Khusus Motor Lifestyle

Bengkel motor dibutuhkan saat motor rusak atau butuh perawatan. Itulah kue yang diperebutkan oleh semua bengkel motor di tanah air. Namun, berbeda dengan F-16 Motor. Pemilik motor yang mementingkan lifestyle adalah pasar yang digarapnya sendiri. Peluang memuaskan hasrat keuntungan sebagai terwaralabanya pun masih terbuka lebar. Berminat?

Motor mogok di tengah jalan, bukan perkara berat lagi. Pasalnya, bengkel motor yang memberikan jasa service kian gampang dijumpai. Bahkan, untuk jasa service yang sama tak sedikit pilihan bengkelnya. Bisa dilihat, di sepanjang jalan bengkel motor berderet dari dinding ke dinding. Selangkah di atasnya ada bengkel motor bermerek sekelas ruko serta bengkel-bengkel resmi motor tertentu.

Siapa pun yang datang ke bengkel-bengkel tersebut hanyalah faktor kebetulan saja. Semisal kebetulan motornya mogok di tengah jalan atau kejadian seperti ban gembos. Sementara untuk perawatan seperti ganti oli dan sebagainya, paling dilakukan selama periode tertentu saja.

Tidak demikian dengan F-16 Motor. Di bengkel tersebut pemilik motor sudah tak peduli lagi seberapa besar uang, jarak dan waktu yang telah dibuang demi motornya. Apa pasal? Bengkel tersebut adalah bengkel lifestyle. Seperti umumnya diketahui, yang namanya tuntutan lifestyle uang bukanlah masalah. Begitu juga yang terjadi dengan bengkel motor milik Willy Dreeskandar ini.

Bengkel ini lebih sebagai butik, fashion dan modifikasi. Sementara jasa service sengaja ditempatkan di urutan paling akhir. Hal itu karena jasa service bukanlah jasa utama seperti yang diberikan bengkel motor umumnya. “Outlet F-16 itu sudah seperti orang kalau misalnya mau beli baju masuk ke fitting room, dia coba-coba, mencari yang terbagus buat motornya,” ujar Willy tentang fungsi bengkelnya sebagai butik.

Sementara nilai fashion yang dimaksud adalah ia menjual berbagai barang motor yang sedang ngetrend alias fashionable. Jangan heran, berbagai jenis ban motor hingga velg yang tak pernah di jumpai dipabriknya sekali pun tersedia di bengkel ini. Begitu juga barang-barang motor lainnya baik buatan dalam maupun luar negeri.

Setelah berjodoh dengan barang pilihannya yang fashionable tadi, pemilik motor berlanjut mengenakannya pada motor. Mekanik F-16 Motor yang juga berlaku sebagai modifikator pun berkreasi. Di sisi lain, karena bengkelnya selalu melahirkan modifikasi yang terbaru, maka tak heran F-16 kerap meniupkan tren modifikasi baru ke seluruh Indonesia.

Sebagai misal, dahulu saat velg besar untuk motor belum umum, jauh-jauh hari F-16 sudah menciptakanya. “Kita membuat velg yang besar dari bahan velg mobil. Kalau umumnya jari-jari standartnya cuma 36 batang yang kecil-kecil, waktu itu kita bikin yang rapat, sampai 72 batang,” urainya seraya melanjutkan, sebelum tren velg besar itu turun, ia sudah membuat tren baru yang lain.

Tahun lalu, modifikasi motor skutiknya sempat mejeng di sampul depan media otomotif. Singkat cerita, kemampuan dalam menciptakan pasar dan tren, membuat bengkel motornya laris manis. F-16 bukan hanya diburu pecinta motor, tetapi juga oleh calon franchisee. Sejak berdiri tahun 2008 di Ciledug, permintaan menjadi franchisee-nya kian tinggi.

Tahun 2010 akhirnya Willy memfranchisekannya. Saat ini franchisee-nya sudah bertengger di atas angka dua puluhan. Jumlahnya akan terus bertambah, sebab dirinya tengah menyeleksi beberapa calon franchisee. Lantas, semudah apakah usaha ini bisa hidup di tangan franchisee?

Momok lamanya waktu menyelesaikan modifikasi ditangkisnya dengan membuat sistem agar modifikasi lebih cepat. “Sekarang semuanya serba instan. Kita gak bisa lagi bikin motor dengan konsep besar, modifikasi besar tetapi berlama-lama. Itu sangat tidak menguntungkan,” jelas suami Dewi Rachel ini. Manual dari sistem tersebut diajarkan kepada franchisee. Agar lebih yakin, saat awal beroperasi ia mengirim mekanik senior untuk transfer ilmu.

Mengenai sistem modifikasi instan tersebut, Willy mencontohkan, motor matik 110 cc dinaikin menjadi 150 cc. “Itu kita sudah siapkan bloknya, pistonnya, ring pistonya dan sebagainya. Pemasangannya paling butuh waktu dua jam termasuk seting karburator,” terang mantan wartawan, redaktur serta pimpinan redaksi beberapa media otomotif ini.

Untuk memiliki franchise F16, kata Willy, franchisee harus membayar management fee sebesar Rp70 juta. Selain itu, di luar biaya sewa tempat, franchisee juga setidaknya menyiapkan Rp150 juta untuk barang dan perlengkapan bengkel. “Tetapi tidak wajib sebesar Rp150 juta, tergantung kebutuhan saja,” lanjutnya. Barang-barang tergantung karakter pasar di daerah franchisee beroperasi.

Willy melanjutkan, masa kerjasama dengan franchisee berlangsung selama 2 tahun. Hanya saja tidak seperti umumnya usaha franchise, ia tak mematok royalty fee bagi franchisee. Ia juga menyiapkan dua orang mekanik yang telah dididik di F-16 pusat serta satu sales di butik untuk outlet franchisee. Perhitungan tentang pendapatan franchisee tak muluk-muluk.

“Saya sangat tidak muluk-muluk, paling banyak sehari cuma 10 motor saja,” katanya. Untuk orang yang modifikasi minimal sudah mengeluarkan Rp250 ribu per motor. franchisee juga diperkirakan bisa mengantongi margin sebesar 60 hingga 70 persen dari setiap motor.

Penulis : Alan Jehunat
Fotografer : Edi Firtson
www.pengusahaindonesia.co.id

Informasi lebih lanjut
F-16 Motor
Jl. Ciledug Raya, No.16 Ciledug-Tangerang 15157
Telp/fax: 021-73446678,021-32129916.
Website: www.f-16motor.com
https://www.facebook.com/pages/forum-pengusaha/246167004834

M. Hajaz, Dua Rumah Melayang Untuk Tambahan Modal Usaha

Tak peduli pahit getirnya menahan senang selama sepuluh tahun mengangsur rumah, M. Hajaz justru menjual rumah idamannya. Bukan seperti orang kebanyakan yang menjual rumah karena kebutuhan mendesak, ia justru menjual rumah demi keinginan liarnya menjadi pengusaha. Apakah usaha yang belum tentu untung itu bisa mengembalikan rumahnya atau justru melayang sia-sia?

Membeli rumah di Jakarta, ibarat membeli derita bagi seorang karyawan bergaji pas-pasan. Gaji yang benar-benar cukup untuk kebutuhan sebulan, harus dipangkas untuk menyicil angsuran kredit rumah. Sisa gaji diperketat agar dapur rumah tangga tetap ngebul. Selama bertahun-tahun sepanjang tenggat waktu angsuran, mereka harus menunda segala macam kesenangannya.

Bisa dibayangkan, betapa merdekanya bila rumah tersebut lunas. Seperti mengangkat piala kemenangan, sertifikat hak milik rumah tak bosan ditatap dari berbagai sudut. Kondisi demikian dialami M. Hajaz, 7 tahun silam. Karyawan level biasa ini, girangnya bukan kepalang. Rumahnya di kawasan Serpong, Banten, selesai dicicil setelah melewati jangka waktu 10 tahun.

Tak tergambarkan kelegaan serupa terjadi pada istri dan ketiga anaknya. Namun belum sempat berlama-lama menikmati nyamannya rumah sendiri, Hajaz – begitu ia disapa, berubah pikiran. Ia menjual rumah yang telah susah payah didapatkannya itu. Ia tidak sedang gelap mata. Hanya saja, alasannya mungkin terasa aneh di telinga. Merasa gajinya tak sanggup menjamin masa depan ketiga anaknya, ia ingin cari sumber penghasilan lain dengan menjadi pengusaha.

“Saya juga dianggap aneh oleh istri dan orang tua saya,” cerita Hajaz pertama kali mengutarakan niat menjual rumah kepada orang-orang terdekatnya. Ia tak terpukul, tetapi justru tertantang. Segala trik dilakukannya meyakinkan mereka. Singkat cerita, keluarganya akhirnya larut bersama tujuannya menjadi pengusaha. Hanya satu syarat yang harus dipenuhinya, usahanya harus untung bila tak ingin rumahnya melayang sia-sia.

“Sisa penjualan rumah itu saya pakai buat dp (down payment) rumah baru,” imbuhnya menjawab syarat itu dengan ide yang bisa dibilang gila tersebut. Masalah modal pun sudah ia atasi. Usaha digital printing berlabel Izzi Print mulai dioperasikannya dengan menyewa salah satu tempat di Rawamangun, Jakarta Timur. Zona baru mulai ditapakinya. Zona yang pernah dirasakannya selama 10 tahun menyicil rumah mulai terulang. Tetapi bebannya bertambah sepuluh kali lipat.

Pasalnya, selain harus menyicil rumah setiap bulan, tanggung jawab sebagai kepala keluarga harus dipenuhinya. Tak berhenti di situ, ia juga harus memikirkan biaya operasional usaha, gaji pegawai hingga sewa tempat tahun berikutnya. “Mungkin karena digital printing masih baru saat itu yang bermain di kelas bawah, usaha saya di tahun awal cukup ramai,” jelasnya. Omset dalam satu bulan berkisar di angka Rp30 juta.

Ia pun tenang. Kewajibannya aman di awal tahun. Kantong yang tadinya diprediksi bolong, tetap tebal. Namun, di tahun berikutnya ia ditampar oleh kelakuan karyawannya sendiri. “Karyawan tersebut membuat saya kehilangan order seratus persen dari klien-klien besar,” tukas pria kelahiran Gresik ini. Karyawan itu, memasukan seluruh order klien-klien besarnya ke tempat orang lain. Izzi Print pun goyang sebab pendapatannya minus.

“Saya akhirnya turun tangan mencari klien, ikut motret dan sebagainya,” jelas suami Elfi ini. Menurutnya, pembelajaran dari itu, ia lebih hati-hati lagi dalam bekerjasama dengan siapa pun. Ia mulai dari nol untuk mencari klien dalam skala besar sebab data base dibawa kabur oleh marketing yang telah berkhianat tersebut.

“Sampai-sampai saya diusir secara halus oleh pemilik tempat usaha,” ceritanya tentang dampak dari kelakuan karyawannya tadi. Namun ia tetap sabar. Ia tak melawan, tetapi berserah kepada Yang Kuasa. Ia pun mundur pelan-pelan dari tempat usaha itu, dan mencari tempat usaha lain yang lebih terjangkau. Akhirnya, tak jauh dari situ ia mendapatkan sebuah tempat yang lebih murah. Dari tempat itulah, ia kembali mencatat cerita gemilang.

Order klien besar datang kembali. Sampai-sampai ia kewalahan saking banyaknya order. Ia pun semakin tahu seluk-beluk bisnis digital printing. Kendati telah beranjak naik, Hajaz kembali gila. Cicilan rumah baru belum kelar, ia malah membeli sebuah usaha waralaba. Bukan cuma itu. Ia juga kesengsem dengan usaha laundry. “Untuk tambahan operasional dan usaha laundry ini, rumah yang sudah saya cicil tiga tahun itu saya jual lagi,” ucapnya tentang perbuatan nekatnya tersebut.

Lebih gila lagi, penjualan rumah itu tak disisihkan lagi untuk uang muka rumah baru. “Saya justru membeli mobil,” katanya. Siapa pun tak mengerti jalan pikiran Hajaz. Sudah dua kali menjual rumah, seharusnya kapok atau setidaknya membeli rumah baru lagi. Hanya saja, ia beralasan, dengan mobil itu selain bisa menghibur anak-anak, juga bisa dimanfaatkan sebagai aset yang melancarkan usahanya.

Usahanya pun berjalan lancar. Brand waralabanya dan usaha laundry bahkan telah balik modal. Dari itu, ia tinggal menunggu laba yang bertelur setiap bulannya. Izzi Print bahkan terus menerus mendapatkan order dari berbagai klien besar, di Jakarta hingga daerah melalui beberapa cabangnya.

Keputusan gila Hajaz tak keliru. Kini dengan menjadi pengusaha, ia bisa membeli rumah ketiga yang nilainya berpuluh kali lipat dari rumah pertamanya dulu. Ia juga telah memiliki mobil dan bisa menjamin masa depan yang cerah bagi ketiga anaknya. “Walau tidak terlihat, jaminan masa depan anak saya lakukan melalui berbagai asuransi,” pungkas Hajaz.


Informasi lebih lanjut:
Izziprint
Jl. Gading Raya No 21. Pisangan Timur, Jakarta Timur. Telp 021-4707313
Website: www.izziprint.com. Email: izziprint@yahoo.com
Hp: 0812 817 3900
Penulis : Alan Jehunat
Fotografer : edi Firtson
www.pengusahaindonesia.co.id
https://www.facebook.com/pages/forum-pengusaha/246167004834

Purwandi Sarmanto, Demi Menyalip Gaji Istri, Rela Bangkrut Berkali-kali

Ingin melebihi gaji istrinya yang merupakan seorang general manager perusahaan Jepang, Purwandi Sarmanto putuskan menjadi pengusaha. Mulai dari usaha riil hingga gaib ia lakoni hingga akhirnya jatuh cinta dengan Sop Janda. Sukseskah ia?

Bekerja sebagai seorang staf penelitian dan pengembangan di sebuah perusahaan ternama, masa muda Purwandi Sarmanto lebih dari cukup. Kebahagiaannya saat itu kian lengkap saat mulai memadu kasih dengan seorang wanita cantik hingga berujung naik ke pelaminan. Tak bisa digambarkan betapa bahagia awal mengarungi rumah tangga pria kelahiran Lampung itu.

Sang Istri yang rela menerima ia apa adanya, tak menuntut “setoran” besar darinya saban bulan. Sebab, tanpa dia bekerja pun dari gaji istri yang merupakan seorang general manager perusahaan Jepang, kebutuhan keluarga bisa tertutupi sepanjang hayat. Bahkan segala kebutuhan itu bisa dipenuhi dengan standar yang jauh lebih mewah dari yang pernah dirasakannya.

“Saya dibeliin arloji yang harganya Rp8 juta, makan di restoran yang sekali makan Rp1 juta hingga baju atau celana seharga jutaan rupiah,” ujarnya tentang segala kemewahan yang turut dinikmati dari gaji besar istrinya. Istrinya tak pernah menganggap dia sebagai orang yang memanfaatkan situasi, begitu pun dirinya lebih menganggap posisi istrinya sebagai sebuah berkah bagi keluarga.

Namun lama-kelamaan, Pur – begitu sapaan akrabnya, merasa minder juga. Ia merasa seperti “ditaklukkan” istri oleh gajinya yang jauh lebih tinggi. Perasaan itu terus membahana dalam dirinya. “Bohong bila suami dalam posisi seperti saya tak merasa minder,” imbuhnya. Ia kian down saat berada di tengah keluarga istrinya yang rata-rata menduduki posisi puncak perusahaannya masing-masing.

Tak mau rasa tertekan itu abadi dialaminya, ia kemudian mencari solusi. Menurutnya, rasa percaya dirinya akan kembali bila penghasilannya jauh lebih tinggi dari istri. “Bila saya mengejar melalui karir, sampai mati pun gak bakal dapat,” tandas suami Dewi Susilo Utami ini. Untuk itu, ia sempat gelap mata. Ia tergiur tawaran instan oknum tertentu melipatgandakan uang dengan cara gaib. Ratusan juta hasil pinjaman dari orang tuanya pun melayang untuk hal sia-sia itu.

“Antara terhipnotis atau goblok, saya juga gak tahu,” begitu ia menyebutkan alasan percaya dengan tawaran gaib tersebut. Itulah dampak ketergesa-gesaannya saking ingin melebihi pendapatan istri. Cara keliru itu pun akhirnya ditinggalkannya. Beruntung suatu waktu ia mengikuti seminar entrepreneur sehingga terinspirasi untuk berbisnis properti.

Ia kembali meraih empati orang tuanya sehingga pinjaman modal terkucurkan lagi. Sempat untung miliaran rupiah, tetapi akhirnya kandas juga lantaran belum fasih bermain properti dengan orang yang lebih paham dunia itu. Namun, saat itu ia telah memiliki sebuah tempat yang tak tahu harus dibuat apa.

Tercetus ide untuk membuat usaha kuliner. Ia mencoba mencari begitu banyak sumber hingga browsing di internet untuk menemukan ide kuliner. Sempat menjajal makanan khas Wonogiri – tempat orang tuanya berasal, tetapi tak laris seperti yang didambakannya.

“Akhirnya ketemu ide untuk membuat sop daging sapi,” lanjutnya. Namun, itu hanya sebatas ide. Ia sendiri sama sekali tak bisa memasak. Jangankan itu, menilai sebuah masakan enak atau tidak pun dia bukan ahlinya. Tak mau menyerah dengan itu, ia pun melakukan trial and error pembuatan menu sop di rumah orang tuanya.

Tak tanggung-tanggung demi mendapatkan formula yang pas, ia menghabiskan waktu tiga bulan untuk trial and error. Koki yang juga keluarga sendiri tugasnya membuat sop setiap hari lalu dibagi-bagikan gratis kepada tetangga di kampungnya. “Sampai berapa kuintal saya beli daging sapinya,” lanjutnya. Ia mengaku, kadang-kadang masakan percobaannya membuat penduduk di kampungnya sakit perut.

Melihat kelakuannya yang hanya menghabiskan uang, orang tua dan keluarga dekatnya komplain. “Saya gak boleh masak di rumah orang tua bahkan orang tua melarang saya ke Lampung lagi saking pusingnya dengan tingkah saya,” kenangnya. Ia tak putus asa. Tempat percobaan masak pun dipindahnya ke rumah saudaranya yang lain. Hingga suatu waktu ia menemukan formula yang cocok.

“Saya berpikiran kalau sekali orang makan terus ketagihan pasti usahanya sukses,” ujarnya. Setelah sopnya sudah mencapai tahap itu, ia lalu percaya diri mengoperasikan usaha kuliner yang dinamakannya Sop Janda itu. Ide nama brand itu muncul liar begitu saja dari pikirannya. Pro dan kontra terhadap nama Sop Janda itu pun terjadi.

Mendengar nama Sop Janda, orang tuanya lebih menganggap itu sebagai rumah bordil. Saat buka pertama kali di Panjang, Lampung, dalam dua minggu pertama rata-rata pengunjungnya adalah laki-laki. Nama Sop Janda juga pernah diprotes oleh anggota dewan terhormat karena melecehkan kaum hawa. Ia tetap bersikeras, sebab nama janda ia plesetkan sebagai singkatan dari Jawa-Sunda.

Singkat cerita, setelah pengunjung merasakan menunya, akhirnya bukan “janda” yang diingat tetapi menu sopnya itu sendiri. Sop Janda pun populer di Lampung hingga akhirnya ia mendirikan dua buah outlet di daerah itu. Enam bulan berikutnya ia membuka cabang lainnya di Jakarta. Dari enam buah outlet itu hingga kini ia bisa mengantongi omset Rp500 juta setiap bulan atau laba bersih sebesar Rp100 juta. Usaha itu kini mempekerjakan 63 orang karyawan.

Akhirnya motivasi ingin menyalip gaji istri tercinta terwujudlah sudah. “Perubahan yang saya rasakan dengan menjadi pengusaha ini sederhana saja, istri saya jadi ‘takluk.’ Dia minta berapa saja saya kasih. Saya sudah punya bargaining position. Gajinya bisa ditutupi oleh penghasilan satu outlet Sop Janda,” tutupnya tertawa lebar.

Penulis : Alan Jehunat
Fotografer : Edi Firtson
www.pengusahaindonesia.co.id

Iga Bakar Mas Giri, Membuat Pelanggan Rela Berantrean

Sejak dibuka dua tahun silam, restoran Iga Bakar Mas Giri Bandung membuat pengunjungnya rela ngantre berjam-jam. Bukan hanya karena rasanya yang menggugah selera, tetapi juga iga sapi yang disuguhkan dalam setiap olahannya adalah iga sapi original. Seperti apa?

Siapa pun pasti setuju, dinginnya kota Bandung bisa menggelorakan selera makan. Tidaklah heran, berburu kuliner sudah menjadi bagian dari wisata belanja di kota berjuluk Paris Van Java itu. Beragam pilihan makanan pun kian gampang ditemui di setiap ruas jalannya. Namun, makanan yang bisa mengusir hawa dingin lebih menjadi pilihan, semisal berbagai jenis menu olahan iga sapi.

Bila sebelumnya makanan olahan iga sapi merupakan menu hotel berbintang hingga restoran kelas atas – yang bahkan rela didapatkan dengan harga lebih dari dua ratusan ribu rupiah, kini menu yang sama sudah tak lagi membolongi kantong. Kendati demikian, bagi orang Bandung yang kritis dalam berburu kuliner, harga atau kemewahan tempat bukanlah masalah bila berbicara soal rasa dan kualitas iga.

Itulah sebabnya, semenjak hari ketiga restoran Iga Bakar Mas Giri mulai beroperasi di kota Kembang itu – tepatnya di bilangan Jalan Aceh, langsung menuai animo besar warga Bandung. Pengunjung dari seantero kota itu dibuatnya rela ngantre berjam-jam demi menikmati menu-menunya. “Daging iganya asli nempel di tulang, bukan daging yang diambil dari tempat lain terus tulangnya disisipin,” ungkap Elvin Elviana, pemilik restoran itu tentang salah satu keunggulannya.

Menurutnya, bagi pecinta kuliner yang kritis pasti mengetahui mana iga sapi yang asli atau iga sapi yang tulangnya disisipi daging, seperti halnya orang Bandung yang lebih kritis tentang itu. Tak sekadar iga original, iga yang diolahnya pun bukanlah iga dari freezer yang sengaja disimpan lama, melainkan iga sapi lokal yang langsung habis diolah dalam sehari.

“Kendati terasa berat begitulah cara kami mempertahankan kualitas iga sapi,” tukas pemegang hak master franchise semua brand waralaba di bawah grup Wong Solo untuk wilayah Jakarta, Jawa Barat dan Bali ini. Dalam sehari restorannya bahkan bisa menghabiskan 300 kg hingga 1 ton iga sapi lokal.

Ukuran olahan iganya relatif tebal. Iga bakar sebagai ciri khas atau iga penyet, disuguhkan dengan porsi 150 gram dan 200 gram. Dengan ukuran seperti itu, ia tak melambungkan harganya hingga ratusan ribu, tetapi hanya dengan Rp23 ribu hingga Rp33 ribu saja. Bahkan, menu-menu tersebut sudah menjadi satu paket dengan nasi, kuah iga bakar, lalap dan sebagainya.

Bosan dengan iga bakar atau iga penyet, di restoranya juga tersedia bermacam menu olahan iga. Di antaranya sop iga, iga gule, sate iga hingga bakso iga. “Kami juga melakukan inovasi, selain iga bakar original, kami menyediakan iga bakar black pepper,” tambahnya. Rasa pedas lada hitam pada menu inovasinya itu ternyata cukup menyedot minat pengunjung.

Tak berhenti sampai di situ. Perpaduan bumbu lokal yang terasa di setiap gigitan iganya merupakan sebuah daya tarik tersendiri. Sensasi spicy atau pedas sedikit menyatu dengan aroma harum rempah yang bila dicicip terasa jelas pedas, manis dan asemnya. “Kendati tebal, dagingnya terasa kenyal bila disantap sebab telah melewati proses perebusan selama lebih dari empat jam,” lanjut dia.

Bagi yang tak kuat pedas, tak usah khawatir. Pasalnya, para pelayan di restoran ini siap mendengar apa pun permintaan pengunjung. “Di sini tidak ada kata ‘No’ semuanya ‘Yes’,” tegasnya. Bagi yang tak suka pedas, tinggal menyampaikan kepada pelayan agar tak dibuatkan menu iga yang pedas.

Menikmati olahan iga yang pas di lidah, tentu lebih enjoy bila didukung tempatnya. Ia pun mempersilakan pengunjungnya agar bisa bersantap lebih santai di dalam ruangan berkapasitas 150 orang itu. Tak ada aturan seperti larangan merokok dan sebagainya, sehingga pengunjung lebih leluasa dan nikmat dalam acara berburu kulinernya. “Bahkan desain warna yang tadinya dianggap ramai, ternyata banyak disukai pengunjung,” terangnya tetang desain interior restoran tersebut.

Alhasil, restoran yang tak absen antrean pengunjung itu, berhasil menoreh omset yang kian melesat. “Hari pertama beroperasi sebesar Rp 2,8 juta, hari kedua Rp 3,8 juta, hari ketiga sudah di atas Rp 9 juta,” katanya mengenang saat awal beroperasi dua tahun silam. Kini, omsetnya sudah bertengger di atas Rp 20 juta per hari atau tiga kali lipat dari nilai itu di saat hari libur.

“Cuma karena di sini turn over-nya tinggi, saya sengaja gak mau kasih tv dan jualan kopi. Karena itu tahan turn over. Kalau Minggu, antrean di depan sudah banyak. Kalau kita kasih kopi, kasihan yang lainnya,” pungkasnya. Saat ini restorannya pun telah menjadi icon iga bakarnya kota Bandung.



Informasi Lebih Lanjut
PT Langgeng Boga Karsa
Jalan R.E Martadinata No. 118 Bandung
Telp. (022) 4261451, Fax (022) 4262908

Penulis : Alan Jehunat
Fotografer : Edi Firtson
www.pengusahaindonesia.co.id

Gibran Huzaifah, Trial and Error Ciptakan Produk Olahan Ikan Lele Modern

Tak harus menjadi ahli kuliner bila ingin berbisnis kuliner. Trial and error tiada henti, membuat Gibran Huzaifah berhasil menaikkan nilai tambah ikan lele menjadi berbagai produk olahan ikan lele modern. Mahasiswa semester 8 jurusan Biologi Institut Teknologi Bandung(ITB) itu kini menoreh omset Rp50 juta setiap bulannya.




Sebagai mahasiswa, waktu untuk belajar tentang apa pun sangatlah besar. Semangat mereka yang tinggi sebetulnya tak hanya cukup untuk aktivitas kuliah saja. Sebab, saat daya kreasinya dipertajam, karya-karya luar biasa tak jarang mengalir dari tangan anak-anak muda itu, seperti inovasi yang dilakukan Gibran Huzaifah, mahasiswa jurusan Biologi Semester 8, Institut Teknologi Bandung (ITB).

Mei setahun silam, Gibran – begitu ia disapa, sibuk mencari ide mengatasi rasa jenuh yang tak kunjung pergi dari rutinitasnya sebagai mahasiswa. Sesuatu yang menantang sudah ia lewatkan sebagai mahasiswa. Akhirnya tantangan yang sesungguhnya ia dapatkan, yakni menjadi mahasiswa sambil menjadi pengusaha. Ia kemudian mencari berbagai informasi tentang entrepreneur hingga sharing dengan pengusaha lainnya agar impiannya tercapai.

“Dengan menjadi pengusaha saya ingin berbuat lebih,” imbuh kelahiran Jakarta ini. Artinya kepalanya yang selama ini banyak bertaburkan ide yang tak tersalurkan, bisa diwujudkannya melalui produk-produk baru. Ternyata Gibran tak sekadar bermimpi. Tak menunggu waktu lama, ia langsung action. Budidaya ikan lele adalah usaha yang semula dilakoninya.

“Tapi setelah dipikir agak sulit mencari pasar. Dari situ saya berpikir, daripada ikan lelenya dijual mentah, lebih baik diolah, jadi value produk lebih tinggi,” ujarnya. Peluang yang belum terbaca pengusaha lainnya saat itu, sudah ditangkap putra pasangan Amri Fauza dan Suciati ini. Menurutnya, di Kota Bandung nyaris belum ada pengusaha lain yang kepikiran memproduksi olahan ikan lele modern.

Kendati tak sedikit pun punya kemampuan dalam pengolahan ikan tersebut – mengingat belum ada pengusaha lain memproduksinya, Gibran tak putus asa. Dia tahu dari bahan baku lain, di pasaran ada produk olahan yang sudah dikenal luas. Sebut saja spaghetti, steak, nugget dan sebagainya. Lebih dari itu, ikan lele yang di-fillet atau di-nugget juga masih terbilang langka.

Ia tak mau sia-siakan peluang itu. Gibran optimis, bila ikan lele dibuat nugget atau di-fillet pasti banyak orang yang menyukainya. Begitu juga bila diolah menjadi spaghetti lele, steak lele dan nugget lele. “Saya pun trial and error menghasilkan produk olahan tersebut,” ujarnya. Lingkungan kampus merupakan tempat ia melakukan uji coba selama tiga bulan. Alhasil, formula yang pas pun ditemukannya.

Tak berhenti sampai di situ. Saat ia berhasil menemukan cara menghasilkan produk berkualitas, selanjutnya adalah bagaimana agar produknya bisa menghasilkan untung. Ia membutuhkan Rp8 juta agar bisa berproduksi. “Selain dari uang sendiri, saya juga cari investor,” kata dia. Sebuah gerai restoran ia dirikan yang kemudian berlabel Dorri.

“Untuk produk yang di-fillet atau nugget, di restoran ini saya kombinasikan dengan resep tradisional Nusantara,” katanya. Untuk itu, ia memberikan pilihan bumbu dari Aceh hingga Papua untuk menyantap olahan lelenya. Menunya pun disesuaikan dengan asal bumbu tersebut, semisal Bumbu Aceh, Saos Padang, Pecak Betawi, Peletuk Kuning Kalimantan, Rica-rica Sulawesi dan Kuah Kuning Papua.

Olahan lele yang lebih ke varian makanan pun bisa disantap, seperti steak lele, spaghetti lele, dan rolade. Dan karena masih langka, Dorri akhirnya menjadi salah satu tujuan kuliner di Bandung. Dari setiap outlet yang kini sudah menyebar sampai Bogor, ia bisa mengantongi omset Rp600 ribu setiap harinya.

“Paling kurang Rp50 jutaan omset saya dapatkan dalam satu bulan,” tukasnya. Dari usahanya itu, kini ia bisa mempekerjakan 11 orang karyawan. Dahulu uang hanya bisa didapatkan dari jatah orang tua, kini apa pun bisa ia nikmati dari hasil kerja kerasnya sendiri. Orang tuanya yang karyawan swasta kini terbantu bebannya dalam menunjang hidupnya sebagai mahasiswa.

“Alhamdulillah biaya sehari-hari, biaya kuliah, dan sekolah adik bisa saya penuhi,” tukasnya bangga. Kedua orang tua yang sebelumnya menyarankannya agar memilih jalur aman menjadi karyawan saja kini terbuka matanya. Begitu pula dengan para dosen yang sempat menyarankan untuk fokus kuliah, ketimbang menjadi pengusaha.

“Sebagai mahasiswa, seharusnya kita tidak hanya fokus kuliah saja, karena potensi kita besar. Sudah seharusnya kita menebar manfaat,” ujar peraih penghargaan Sosro Youth Business Competition kategori kuliner ini. Lagi pula, kata dia, di masa-masa seusianya, semangat masih sangat membara, waktu untuk belajar sangat banyak sehingga menjadi pengusaha merupakan pilihan tepat.

Minggu, 15 Januari 2012

Koma Untoro, “Iri” Teman Lulusan SD, Rela Tinggalkan Gaji Ratusan Juta

Demi bekerja di Bursa Efek Jakarta – sekarang Bursa Efek Indonesia, Koma Untoro harus kuliah pasca sarjana Universitas Indonesia. Ia pun berhasil mendapat tiga ijazah terkait Bursa Efek. Tiga divisi manajer didudukinya dengan penghasilan besar. Namun semuanya berakhir dengan keputusan gilanya menjadi pengusaha. Benarkah ia gila? 





Siapa yang tak mengenal Bursa Efek Jakarta (BEJ)? Setiap hembusan napas, ratusan juta transaksi terjadi di gedung pencakar langit, jalan Sudirman Jakarta itu. Sedikitnya Rp 5 triliun total transaksi terjadi sepanjang hari di sana. Yang bekerja di dalamnya bukan orang sembarangan. Selain pintar, harus sekolah setinggi mungkin. Apalagi untuk posisi manajer, seperti yang pernah diemban Koma Untoro.

Untuk jabatan tersebut, Koma – sapaan akrabnya, rela meninggalkan pegawai negeri sipil di Tegal, daerahnya berasal. Ia kemudian melanjutkan S2 di Universitas Indonesia. Hingga, di tahun 1992 ia diterima di BEJ – kini namanya Bursa Efek Indonesia. Beberapa divisi manajer BEJ gonta-ganti didudukinya. Cita-citanya tercapai. Tunjangan, bonus, asuransi, general check up dan berbagai fasilitas wah lainnya pantas dinikmatinya. Penghasilan anak petani ini bertengger di atas ratusan juta rupiah.

Jabatan itu, membuatnya sering bolak-balik ke luar negeri. Tak terhitung berapa kali ia berkeliling Indonesia untuk edukasi tentang Bursa Efek. Bahkan, pernah berlama-lama di sebuah hotel mewah membuat buku panduan keuangan untuk BEJ. Orang tuanya bangga, keluarganya bahagia. Dirinya kini bukan hanya kaya, tetapi juga pintar dan disegani di BEJ. Hanya karena jabatan direktur di perusahaan itu adalah jabatan politis, ia sebenarnya terhitung yang layak mendudukinya.

“Namun akhirnya saya dianggap gila,” cetus Koma. Apa pasal? Ibarat membakar tiga ijazahnya, yang bahkan telah diraihnya melewati sengitnya persaingan, ia mengundurkan diri dari perusahaan itu. Alasan utamanya terasa lucu bagi siapa saja di sekelilingnya saat itu, yakni ingin menjadi pengusaha. Keputusan itu membuat teman-teman maupun keluarganya, membujuk dirinya membatalkan hasrat tak masuk akalnya.

“Mereka bilang ini mungkin keputusan emosional,” ujar pria kelahiran Tegal tahun 1959. Lagi pula, tambahnya, ia sudah memenuhi harapan orang tuanya, sekolah setinggi mungkin dan bekerja di perusahaan besar. Namun begitu, setiap kali mudik ke kampung halamannya, hati Koma kerap terganjal seorang teman SD-nya. Teman itu, memiliki aset miliaran rupiah, hanya usaha jualan ikan.

“Teman SD saya itu memakai sarung setiap hari, jalan dengan cucunya. Waktu luangnya banyak. Ia hanya mengontrol usahanya. Asetnya miliaran rupiah, jauh di atas penghasilan saya sebagai manajer,” katanya tentang teman yang memiliki banyak investasi properti di kota Tegal itu. Untuk bisa seperti temannya, tak mungkin hanya bekerja dengan posisi yang dianggap tinggi di Bursa Efek. Itulah titik balik bagi Koma, sehingga kian membulatkan tekadnya berpindah kuadran menjadi pengusaha.

Lebih gila lagi, setelah resign, Koma belum memiliki usaha. Ia masih mencari-cari peluang yang cocok untuk dijalani. Saat-saat yang mendebarkan pun tiba. Biasanya rutin menerima penghasilan besar saban bulan, kini uangnya terus menipis tanpa pemasukan. Ekonominya turun drastis, sementara dapurnya harus tetap ngebul.
Ia ditekan oleh kondisi itu agar segera menemukan peluang usaha. Jurus ‘The power of kepepet’ muncul secara alamiah. Mau tak mau, ia harus kerjakan semuanya sendiri, tidak lagi dibantu staf seperti di Bursa Efek. Biasanya bekerja di ruangan ber-ac, restoran mewah hingga hotel berbintang, kini hanya di belakang komputer salah satu ruangan kerja di rumahnya. Biaya tetek bengek operasional yang biasanya ditanggung perusahaan, kini terus membolongi kantongnya.

“Bahkan saya sampai menggadaikan rumah saya,” ujarnya. Hingga berjalan beberapa bulan dengan keadaan itu, ia pun menemukan ide untuk mendekati seorang pengusaha sekolah musik ternama: Purwa Caraka. Melalui temannya, ia dipertemukan dengan musisi kondang itu. Lagi-lagi, Koma memang selalu gila. Walau tak mengerti musik sedikit pun, dirinya berani menawarkan sebuah konsep untuk ekspansi sekolah musik tersebut.

Menjadi pengusaha, kata dia, harus bisa bertahan dan sabar. Dirinya dengan penuh kesabaran menunggu keputusan pemilik sekolah musik itu untuk bermitra dengannya. Alhasil, road to be a miliarder terbuka baginya. “Akhirnya saya ditunjuk menjadi partner oleh Pak Purwa Caraka (panggilan pemilik sekolah musik Purwa Caraka red.) untuk pengembangan sekolah musiknya,” ceritanya. Di tangannya, sekolah musik yang tadinya sulit berekspansi itu bertumbuh pesat menjadi 80 gerai.

“Saya yang mengurusi manajemen hingga pengembangan franchise sementara Pak Purwa mengurusi akademik dan kurikulum dan sebagainya,” tandasnya. Koma tak salah dengan keputusannya menjadi pengusaha. Kini, bukan hanya tiga gerai sekolah musik itu ia miliki, tetapi dari kerjasama dengan owner sekolah tersebut dirinya telah memiliki aset bermiliaran rupiah. Secara aset, teman SD yang menjadi sumber inspirasi tadi sudah jauh disalipnya.

Jiwa pengusahanya kian tajam. Kini ia memiliki mainan baru, yakni usaha sate berlabel Sate Virgin, di bilangan Jalan Hasibuan, Bekasi Barat. “Saya ingin mengangkat makanan daerah melalui sate Virgin,” katanya. Sate tersebut, merupakan sate Tegal. Tetapi dimodifikasi dari sisi rasa melalui daging kambing muda, serta racikan bumbu yang membuat rasa dagingnya dominan. Itulah yang memberikan keunikan baginya sehingga menyedot begitu banyak pelanggan.

Koma akhirnya menjadi pengusaha tulen, bukan lagi seorang manajer. Waktunya terbuka luas, tak lagi berkejaran dengan waktu agar sidik jarinya terekam di mesin absen kantor. Pendapatannya kian lama, kian besar, tak seperti nominal gaji yang naiknya hanya puluhan persen setiap tahun. Bila dahulu jumlahnya jutaan, kini miliaran rupiah. “Orang-orang yang bilang saya crazy, akhirnya mengagumi saya. Bahkan, mereka menyesal, mengapa gak dari dulu menjadi pengusaha,” pungkas pria yang memutuskan jadi pengusaha di usianya yang ke 40 tahun itu. 


Penulis : Alan Jehunat
Fotographer : Edi Firtson